Kegiatan

Terbaru

Antara Ideal dan Ideologi

Oleh: Deni Gunawan

Beberapa waktu lalu saya terlibat dalam sebuah diskusi yang membuat saya berhenti sejenak untuk merenung. Apakah Pancasila masih kita jalani sebagai pandangan hidup atau sekadar kita hafalkan seperti doa yang kehilangan makna.

Pertanyaan sederhana itu menyentuh kegelisahan yang dalam, tentang jarak antara nilai yang kita agungkan dan kenyataan yang kita jalani setiap hari.

Topik yang kami bahas waktu itu cukup menantang tetapi sangat relevan dengan kehidupan kebangsaan hari ini. Pancasila, antara ideal atau ideologi?

Sekilas terdengar akademis, tetapi sesungguhnya menyentuh jantung persoalan kita sebagai bangsa. Di balik lima sila yang kita hafal sejak kecil, tersimpan pertanyaan mendasar tentang sejauh mana kita benar-benar menghidupi nilai-nilainya dalam kehidupan nyata.

Dalam konteks global, pembicaraan tentang ideologi memang pernah dianggap usang. Setelah berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, banyak yang mengira bahwa pertarungan ideologi besar telah selesai. Dunia kemudian bergerak menuju pragmatisme, di mana efisiensi, teknologi, dan keuntungan menjadi ukuran segalanya.

Namun anggapan bahwa ideologi telah mati ternyata keliru. Terence Ball, ahli teori politik asal Amerika, menegaskan bahwa ideologi tidak pernah benar-benar mati.

Baca Juga  Segera Hadir Workshop Asinan Kolang Kaling Emaks Wira, Hadirkan Semangat Usaha dari Dapur Sendiri

Marxisme-Leninisme memang meredup di banyak tempat, tetapi tetap hidup di Tiongkok, Vietnam, dan Kuba dengan bentuk yang baru.
Bersamaan dengan itu, muncul berbagai ideologi baru seperti gerakan lingkungan, feminisme, dan spiritualitas modern. Artinya manusia tetap memerlukan kerangka berpikir untuk memahami dunia dan menata kehidupan bersama.

Dalam pengertian itu, Pancasila bukan sekadar warisan sejarah tetapi sistem nilai yang hidup. Ia adalah penuntun moral dan arah kebudayaan bangsa Indonesia di tengah perubahan zaman.

Pertanyaan apakah Pancasila ideal atau ideologi menjadi penting, bukan hanya dari sisi teori, tetapi juga dari cara kita memperlakukannya dalam keseharian.

Jika menengok sejarah, Pancasila pernah memainkan dua peran yang kontras. Di satu sisi, ia menjadi simbol pemersatu dan sumber inspirasi perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain, ia pernah dijadikan alat legitimasi kekuasaan melalui tafsir tunggal.

Dari sini kita belajar bahwa Pancasila bisa menjadi ideologi hegemonik jika dikendalikan oleh kekuasaan semata, atau menjadi ideal kolektif jika dihidupi secara sadar dan kritis oleh rakyatnya.

Baca Juga  Mahasiswi Alumni Pertukaran Pelajar AS: Sekolah Muda Wiratama Bangkitkan Semangat Identitas dan Aksi Sosial

Oleh karena itu, tugas kita hari ini bukan sekadar menghafal lima sila atau menjadikannya hiasan dinding di kantor pemerintahan. Tugas kita adalah menghidupkan kembali Pancasila sebagai pandangan hidup yang reflektif dan relevan.
Membacanya secara kritis, bukan dogmatis. Menjadikannya pedoman hidup bersama, bukan alat pembenaran politik. Menjaga maknanya agar tetap terbuka terhadap perubahan zaman.

Di sisi lain, Pancasila semestinya menjadi ruang dialog etis yang terus diperbarui, bukan doktrin mati. Ia harus mampu menjawab tantangan baru tanpa kehilangan jiwa keadilannya. Sebab hakikatnya, Pancasila adalah kompas moral bangsa yang mengajarkan kemanusiaan, keadilan sosial, dan kekuatan keberagaman.

Masa depan Pancasila bergantung pada kesadaran kita bersama. Ia tidak akan hidup karena dihafalkan, tetapi karena dijalani. Ia tidak akan relevan jika dibekukan, tetapi akan tetap bercahaya jika ditafsirkan dengan kebijaksanaan.

Pancasila adalah napas yang menghidupkan semangat bangsa, sekaligus cahaya yang menuntun langkah kita menuju masa depan dengan keyakinan, keadilan, dan cinta pada tanah air.